Pak Haji Aan Zuhana tetap konsisten berdakwah

Satu minggu setelah Lebaran Idul Adha 1428 H, Pak Aan jatuh sakit. Sakitnya cukup serius, sehingga beliau tidak menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Biasanya Pak Haji selalu menghindari berhubungan dengan dokter (untuk berobat) kali ini mau tidak mau terpaksa harus berhadapan dengan dokter. Hasil diagnosa menunjukkan bahwa beliau terkena serangan stroke, jadi harus dirawat inap guna menjalani pengobatan secara intensif.

Selama dirawat, banyak sekali jama’ah yang datang silih berganti, bahkan kadang harus antri untuk menjenguk pak Haji. Dalam keadaan berbaring sekalipun, beliau tidak berhenti mengingatkan kepada semua agar lebih berhati-hati dalam hidup. Mengajak supaya taat kepada Yang Kuasa, sekali-kali jangan mencoba meninggalkan perintah-Nya. Sebab, kalau Allah menghendaki mencabut umur kita, tidak ada kesempatan lagi bertaubat. Mending baru sakit, jadi masih ada kesempatan memperbaiki diri.

Badannya yang lunglai, suaranya yang pelau dipaksakannya tetap berbicara, mohon maaf kepada semua, mohon doanya. Beliau merasa ini sebagai lampu kuning dari Allah. Sekalipun Beliau mempunyai prinsip bahwa mati itu adalah pasti. Tidak karena sakit, sebab orang sehat pun tidak sedikit yang meninggal tiba-tiba, mungkin penyebabnya karena suatu kecelakaan. Orang sakit sendiri belum tentu mati karena sakitnya, sebab banyak yang sakit sekalipun sakitnya parah malah menjadi sembuh. Jadi menurut mentan ketua Umum ITMI Periode 1999-2004 ini, seseorang mati karena ia hidup. Artinya , terjadinya kematian karena adanya kehidupan.

Sepulang dari Santosa Hospital, selain berobat secara medis, Beliau pun berobat dengan pengobatan alternatif seperti pijat, akupuntur, dan meminum ramuan-ramuan herbal, dll.
Hasilnya lumayan, dokter menyatakan bahwa perkembangan Pak Haji termasuk cepat. Dalam kurun waktu tiga bulan, kesehatannya mulai pulih walaupun belum seratus persen. Kendatipun belum sehat benar, beliau pun sudah mulai mencoba terjun lagi untuk cermah. Umat sudah menunggu-nunggu kehadirannya, rindu untuk mendengarkan tausiahnya yang khas. Tutur bahasanya tersusun rapi menghiasi isi khutbah yang sarat makna, sekali-kali muncul pula canda nan menggelitik jiwa.

Pak Aan mulai tampil berceramah di mimbar karena keterpaksaan. Ketika masih berstatus siswa, beliau merupakan salah satu aktivis mesjid di Wyata Guna. Bersama beberapa temannya merintis pelaksanaan shalat Jum’at di lingkungan Wyata Guna. Suatu waktu, khotib yang dijadwalkan tidak datang. Sementara penggantinya pun tidak ada. Terpaksa beliau harus naik ke mimbar untuk berkhutbah, dari pada tidak jadi shalat jum’at. Gelombang pro dan kontra tentu saja ada, pujian sebagai support dari teman-temannya datang demikian pula sebaliknya, ejekan pun tidak kurang. Sejak itu, Pak Haji semakin termotivasi untuk belajar agama. Selain menggali sendiri, beliau pun menimba ilmu (ngaji) ke beberapa tempat. Guru Beliau diantaranya ialah KH.E.Z. Muttaqin (perintis UNISBA), KH. Rusyad Nurdin (mantan Ketua DDI Jabar), dan banyak lagi ustadz-ustadz yang dijadikan nara sumber.

Seiring dengan berputarnya waktu, perkembangan kemampuan berceramah Pak Aan cukup nyata, baik dari segi ilmu maupun keberaniannya. Hari-harinya diisi dengan ngaji dan ngaji sampai saat sudah tidak berstatus sebagai siswa, dan menjadi PNS, ngaji dan dakwah merupakan bagian hidup yang telah menjadi rutinitas dan kebutuhan meskipun harus dijalani dengan pengorbanan, baik tenaga, pikiran, bahkan lebih dari itupun siap dikorbankan.
Idealisme seorang dai tentu saja seperti itu. Tetapi sebagian orang ada yang berpandangan bahwa dakwah identik dengan amplop. Di kalangan sebagian penceramah, fenomena demikian tak terbantahkan, bahkan ada da’i yang menentukan tarif. Pak Aan mempertanyakan, apakah tujuannya hanya untuk mencari uang? Tentu saja anggapan seperti itu harus diluruskan. Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mengajak kepada kebenaran mencegah dari kebatilan.

Dalam perjalanan dakwahnya, tidak sedikit rongrongan yang merintangi baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Berbagai hambatan selalu menghadang terlaksananya dakwah. Sebagai tunanetra tentu banyak keterbatasan. Sulitnya mencari materi dakwah, gangguan mobilitas, ditambah kekurangan dari sisi finansial, merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi dengan sabar. Belum lagi anggapan miring dan pandangan sebelah mata dari sebagian orang yang meragukan kemampuan berceramahnya sebagai seorang da’i tunanetra merupakan tantangan yang besar yang harus dilawan dengan kekuatan dan kebesaran jiwa.

Semua rintangan dan tantangan dianggapnya sebagai sesuatu yang biasa, dan tidak menyurutkan semangatnya untuk selalu berdakwah. Jika memperhitungkan untung rugi secara material, barangkali sudah harus berhenti berdakwah karena pada beberapa kesempatan justru sering nombok. Tapi karena tujuan berdakwah adalah menjalankan tugas agama mencari ridlo Allah SWT, maka semuanya tetap harus dijalaninya.
Menurut keyakinannya, dakwah merupakan tugas suci dalam mengajak umat menegakkan aturan Allah, amar ma’ruf nahi munkar. Pengorbanan harta, tenaga bahkan jiwa sudah menjadi risiko dalam menjalankan tugas sebagai seorang da’i.

Kenangan yang tak kan terlupakan yakni ketika mengikuti “Pesantren Kilat” di BAKOSTRANAS, Bandung. Saat itu, pada tanggal 17 November 1989, dini hari, sepulang melaksanakan pengajian dari Purwakarta, sekitar pukul 03, beberapa petugas dan intel menjemput Pak Haji Aan beserta keluarga untuk dibawa ke BAKOSTRANAS. Perasaan kaget, dan bingung terhadap apa yang terjadi tentu saja sempat dirasakan, bahkan keluarga pun sempat syok.

Saat itu Indonesia dikuasai oleh Rejim yang otoriter. Tanpa pandang bulu terhadap siapa pun yang dianggap merongrong pemerintah harus ditangkap, diinterogasi, bahkan dienyahkan, atau paling tidak mendekam di balik jeruji besi. . Hal tersebut dialami Pak Haji Aan karena beliau dicurigai berkomplot dengan Husen Alhabsyi seorang tunanetra yang telah menggegerkan dunia karena dituduh menjadi otak peledakan Candi Borobudur. Husen Alhabsyi menjadi target utama (DPO) sejak meledaknya Candi Borobudur pada tahun 1985, karena Husen AlHabsy belum juga tertangkap, akhirnya Pak Haji Aan jadi sasaran. Pak Haji Aan dituding menyembunyikan Husen Alhabsy dan menjadi penyokong dana. Kurang lebih 40 hari Pak Aan kelahiran Ciamis, 29 Oktober 1942 ini harus menjalani hidup di balik jeruji besi. Selama dalam tahanan, beliau tetap tegar dan tidak gentar karena yakin benar.

Pengaruh keadaan ruang tahanan yang pengap dan gelap, mengakibatkan penglihatan Pak Haji Aan jadi menurun. Asalnya penglihatannya low vision, akhirnya menjadi buta total. Pak Haji ditahan bersama Pak Rizal Fadillah, terkait kasus yang sama. Akhirnya setelah berbagai penyelidikan, dan terbukti beliau tidak terlibat apa-apa , malam Tahun Baru 1990, Pak Aan dan Pak Rizal bisa kembali menghirup udara bebas.

Pak Haji Aan dianugerahi tiga puteri dan dua putera dari perkawinannya dengan Ibu Hajah Hadidjah. Pensiun dari BPBI (Abiyoso) pada tahun 1998, setelah mengabdi sebagai pegawai
negeri kurang lebih 35 tahun. Jabatan terakhir di BPBI adalah sebagai Kepala Sub Seksi Penerbitan Majalah. Buku-buku yang Beliau susun, diantaranya ialah CARA CEPAT BELAJAR ARAB BRAILLE, FIKHU SUNNAH, dll. Meskipun secara formal sekolahnya hanya sampai kelas dua SMA, tapi karena keuletannya, mampu menduduki jabatan struktural di pemerintahan. Demikian pula di masyarakat, karena kemampuannya dalam berdakwah, masyarakat pun memberinya gelar, “Kyai Haji”, “DRS”, bahkan “Doktor”. Pak Haji berusaha sekuat tenaga istiqomah dalam berdakwah. Sisa usianya ingin dimanfaatkan untuk kebaikan. Sebaik-baik orang adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain.

Manfaat yang diterima secara logika, dan benar menurut dalil agama. Dengan susah-payah, Pak Haji telah berusaha membangun kepercayaan dari masyarakat, merubah pandangan negatif mereka yang memiliki anggapan bahwa tunanetra identik dengan kekurangan. Amat sulit untuk meyakinkan orang lain supaya percaya kepada kita, apalagi terhadap tunanetra yang dikategorikan cacat. Sementara, apabila dianalogikan kata cacat sama dengan barang yang rusak (BS). Sedangkan Allah telah menyatakan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam keadaan sempurna, (Q.S. Attin ayat 4). Jadi, menurut Allah semua manusia telah diciptakan-Nya dengan sempurna tanpa kecuali yang tunanetra sekalipun.

Sempurna dan tidaknya manusia menurut Haji Aan Zuhana, tergantung sejauh mana manusia yang bersangkutan menjalankan fungsi kemanusiaannya. Manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi dan untuk beribadah. Secara vertikal melakukan ibadah ritual terhadap Sang Pencipta, secara horizontal melakukan ibadah social dengan berbuat baik terhadap sesama.
Jadi siapa pun dia, jika menyimpang dari tujuan penciptaan-Nya, maka perlu dipertanyakan statusnya sebagai manusia. Demikian pula dengan tunanetra, tidak mentang-mentang tunanetra lalu akan mendapatkan dispensasi. Sebagai manusia, hak dan kewajiban kita sama, baik dihadapan sesama manusia maupun di hadapan Allah SWT. Untuk mewujudkan kesamaan hak dan kewajiban tersebut diperlukan kemauan dan kemampuan dari kita sendiri. Secara formal kedinasan menurut beliau memang sudah pensiun lama, tetapi dalam dakwah tidak boleh ada kata pension walau bagaimanapun kondisinya.

Jadwal ceramah Pak Aan cukup padat, terutama hari Jum’at, Sabtu, dan Minggu. Namun di tengah-tengah kesibukannya, beliau menyempatkan diri bersilaturrahmi dengan kami yang tunanetra secara rutin tiap hari Sabtu di Jalan Hegar Manah 10 Bandung, dan tiap hari rabu kegiatan mengajarnya di kantor secretariat LSM Ummi Maktum Voice.

Selain berdakwah dengan ceramah, Beliau pun berdakwah dengan cara aktif di beberapa organisasi, yaitu sebagai Ketua Dewan Mufti Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI), Ketua Harian Yayasan Umimaktum, Ketua Yayasan Al Kautsar, Pengurus Yayasan Lemorai (Yayasan yang menyantuni mantan pengungsi Timor Timur), dan dewan Penasehat kerohanian LSM Ummi Maktum Voice (UMV).

Copyright © 2025 Perkumpulan LSM UMMI MAKTUM VOICE